Filsafat sangatlah melekat dengan hidup dan kehidupan kita. Dengan pendekatan filsafat kita bisa memahami ilmu. Yang menjadi permasalahan seberapa besar filsafat mempengaruhi ilmu yang kita pelajari? Untuk menjawabnya lihat ilustrasi melalui 3 pilar filsafat berikut ini :
Filsafat mempunyai 3 pilar utama yakni ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiganya saling terkait satu sama lain.
Kaitan ontologi dengan ontologi sendiri adalah untuk mengetahui apa itu hakikat, karena sebenarnya diri saya tidak tahu apa itu hakikat. Perlu diketahui sebenar-benarnya hakikat adalah Sang Pencipta. Ontologi secara epistimologi adalah berusaha untuk menggapai hakikat. Hakikat dari epistimologi yaitu cara / metode. Berusaha secara onto untuk mengungkapkan kebenaran dari suatu metode. Sedangkan ontologi secara aksiologi adalah hakikat baik & buruk. Hakikat baik & buruk setiap orang pastilah berbeda, hakikat baik & buruk detik sekarang pun akan berbeda dengan hakikat baik & buruk detik berikutnya. Semua tergantung siapa orang yang berpendapat dan bagaimana hakikatnya. Karena segala sesuatu mempunyai dimensi tersendiri dan merentang, termasuk merentang waktu. Contohnya adalah filsafat tarekat yaitu metode untuk menggapai hakikat hati dan pikiran.
Epistimologi secara ontologi adalah menggapai suatu hakikat. Epistimologi secara epistimologi adalah menggapai suatu kebenaran metode, apakah benar atau salah. Epistimologi secara aksiologi adalah bagaimana metode mengungkap suatu kebaikan dan keburukan. Aksiologi secara ontologi adalah tentang baik buruk suatu hakikat, tata etik, dan estetika orang berfilsafat. Aksiologi secara epistimologi adalah menggapai etikanya suatu cara dan menggapai etik & estetikanya suatu metode. Aksiologi secara aksiologi adalah tentang baik buruk, baik buruknya tentang baik buruk. Menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik. Contohnya masalah ritual jawa seperti resepsi pernikahan. Contoh lain orang jawa suka dengan simbol yang tersembunyi ( tebu = antebing kalbu ).
Sebagai contoh dari keseluruhan misalnya pernikahan,
Jika dilihat secara ontologi, ontologinya pernikahan adalah akad nikah. Di sini akan menjelaskan tentang adanya suatu akad nikah. Apa akad nikah itu? Mengapa akad nikah perlu diselenggarakan? Bagaimana pelaksanaan akad nikah itu? Di mana biasanya akad nikah dilaksanakan? dst….. Secara epistimologi, adat pernikahan tiap-tiap daerah adalah berbeda. Adat pernikahan daerah Jawa akan berbeda dengan adat pernikahan daerah Sumatra misalnya. Adat pernikahan daerah Sumatra akan berbeda pula dengan adat pernikahan daerah Bali. Hal ini karena setiap daerah memiliki latar budaya yang berbeda-beda. Epistimologi pernikahan di sini berperan untuk menghubungkan ontologi pernikahan dengan aksiologi pernikahan. Ibarat kata epistimologi adalah jembatan yang menjembatani ontologi & aksiologi. Sedangkan jika dilihat secara aksiologi, aksiologinya pernikahan adalah etik & estetikanya suatu pernikahan. Aksiologi di sini akan menjelaskan tentang sifat yang melekat pada adanya.
Filsafat selain mempengaruhi suatu ilmu pengetahuan juga mampu melahirkan suatu ide. Menurut filsafat barat, sebenar-benar filsafat adalah pola pikir. Ketika kita bermimpi, kita akan bermimpi dalam mimpi. Karena keterbatasan yang ada, kita akan bermimpi dalam mimpi dalam mimpi dalam mimpi dalam mimpi………………………………………………….. Itulah infinite regress kita yak tak terbatas adanya. Secara aksiologi, saya akan menyampaikan mimpiku kepada orang lain. Secara epistimologi saya akan menuruti metode-metode yang sudah digariskan oleh guru spiritual. Sedangkan secara ontologi, saya akan memikirkan tentang adanya mimpi yang aku alami.
Hati dan pikiran adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Sesuatu yang terjadi dalam hidup kita sebagian besar dipengaruhi oleh hati dan pikiran kita. Ketika hati dan pikiran didominasi sesuatu keinginan, kita akan semakin fokus pada hal tersebut. Hal ini melahirkan energi dan motivasi yang kuat mengarahkan kita menjadi apa yang kita pikirkan. Banyak orang kurang menyadari kemampuannya memahami bagaimana proses berpikir dan mengendalikan hati dan pikirannya. Akibatnya mereka menjadi budak atau hamba dari hati dan pikirannya. Bukannya memimpin hati dan pikirannya, malahan seumur hidupnya dikendalikan oleh hati dan pikirannya sendiri. Maka kalau ingin menjadi pemenang, mulailah mengubah keyakinan keberhasilan, kesuksesan, disebabkan faktor dari dalam diri kita. Yang menciptakan itu semua adalah hati dan pikiran kita.
Batas pikiran ku ada di hatiku karena pikiran ku tak mampu menjelaskan yang ada dan yang mungkin ada. Dari tindakan yang aku lakukan akan aku tuangkan dalam wujud sebuah tulisan. Dari tulisan ini akan aku masukan dalam pikiran ku. Karena keterbatasan pikiran ku yang tak mampu menampung semua yang aku pikirkan, maka aku pasrah dengan doaku. Aku yakin doaku ini mampu menjelaskan semuanya, karena doa tak memiliki keterbatasan. Pikiran kita hendaknya berani memikirkan suatu mitos yang ada, baik mitos secara sempit, luas, dangkal, dalam, primitif, maupun profesional. Banyak pendapat tentang apa mitos itu sebenarnya. Berbagai macam cara kita mendefinisikan suatu mitos. Belum tentu mitos itu tidak baik. Yang diketahui bagi orang kecil, mitos hanyalah berlaku bagi orang desa. Secara ontologi kita mampu menggapai hakikat suatu mitos. Secara epistimologi menjelaskan bagaimana kita mampu mengungkapkan suatu mitos kepada orang lain. Dan secara aksiologi adalah kita mampu menjelaskan tentang etik & estetikanya suatu mitos.
Filsafat memang sangat menarik untuk dipelajari. Kita bisa mengembangkan kreativitas yang kita miliki dengan bebas berpendapat. Berpendapat dalam filsafat tidak akan pernah salah, karena dalam berfilsafat tidak mengenal benar ataupun salah, semua tergantung bagaimana kita mampu menjelaskan pendapat yang kita kemukakan. Menurut salah satu dosen filsafat di Universitas Negeri Yogyakarta, Dr. Marsigit , beliau tertarik belajar filsafat karena pada dasarnya beliau senang berdiskusi. Dengan berfilsafat beliau mampu berfikir kritis dalam setiap tindakannya. Dua hal tersebut di atas yang mendorong Dr Marsigit tertarik untuk menyelami filsafat secara lebih dalam dan luas lagi.
Matematika yang dipandang sebagai ilmu pasti, ternyata jika dilihat dari segi filsafat akan bersifat tidak netral. Maksudnya matematika harus dilekatkan dengan ruang dan waktu. Yang kita ketahui 2 + 3 = 5 memang benar adanya. Hal ini benar karena matematika belum dilekatkan dengan ruang & waktu. Jika sudah dilekatkan dengan ruang & waktu 2 + 3 tidak sama dengan 5. Disitulah filsafat yang mempunyai peran besar, termasuk dalam belajar matematika. Perlu diketahui, dalam mempelajari filsafat kita harus mengaitkan antara tesis, antitesis, dan sintesis. Karena tidak lain tidak bukan tesis, antitesis, dan sintesis adalah hidupku sendiri. Misalnya saja untuk menyebut nama ALLOH. Bahasa yang paling tepat untuk menyebut nama ALLOH adalah tergantung dari masing-masing agama. Jika kita bisa menyebut nama ALLOH dan diterima maka sesungguhnya kita akan masuk dalam kapsul ALLOH..Subhanalloh……
Di suatu sekolah RSBI ada yang menggunakan tema hantu sebagai latar suasana dalam pembelajaran. Jika dipandang dari segi filsafat, tema hantu yang dipilih tidak ada salahnya karena kita bebas berekspresi. Jika dengan tema hantu itu kita pandang dapat memberikan suasana baru dan memberikan semangat belajar ke dalam diri siswa, mengapa tidak diterapkan? Tetapi sebaliknya jika itu hanya akan menurunkan semangat siswa dalam belajar, lebih baik tidak diterapkan. Misalnya ada yang berpendapat tidak setuju dengan tema hantu di sekolah RSBI, karena jika wadahnya sudah hantu, bagaimana dengan isinya. Menurutnya akan menjadi musibah saja. Tentu pendapat yang disampaikan tidak salah. Bisa juga orang lain berpendapat setuju dengan adanya tema hantu, dan itupun tidak salah. Kita harus menjaga hati kita masing-masing. Tidak ada yang tahu hati orang lain, karena untuk memikirkan hatiku saja aku tak mampu, bagaimana bisa aku mampu memikirkan semuanya. Ketika aku tak mampu tuk memikirkannya, maka aku tak mampu pula tuk menuliskannya.
Dalam melakukan perjalanan imajiner kita dapat menuliskan apa apa yang kita bayangkan, karena tidaklah satu detik pun di kehidupan kita, kita terbebas dari imajiner. Berpikir diawali dengan sadar. Kesadaran pasti diikuti dengan tentang, tentang hal apa. Artinya ketika kita berkhayal tingkat tinggi kita bisa berpikir sadar ke dalam dan berpikir sadar ke luar. Dengan melakukan refleksi diri dan berfilsafat kita mampu berpikir sadar ke dalam, dan dengan berkhayal (tidak logis) kita mampu berpikir sadar ke luar. Berfilsafat memerlukan logika, sedang logika mempunyai dasar atau foundament. Berkhayal tidak perlu membutuhkan logika, karena semakin kita berkhayal maka kita bisa dikatakan gila. Ketika wadahnya sudah rusak maka akan tidak sesuai dengan ruang dan waktu.
Selama ini aku berpikir bahwa filsafat adalah melalui bahasa. Dengan ini diriku tidak lain tidak bukan adalah bahasa. Bahasa selalu dihubungkan dengan subyek dan predikat. Berarti jika diriku ini adalah bahasa maka diriku juga akan selalu dihubungkan dengan subyek dan predikat. Misalnya kita mempunyai A & B. Ada dua kemungkinan yang mungkin terjadi, yakni : A adalah B & A adalah A. Jika A adalah B maka itulah yang disebut hukum kontradiksi , sedangkan jika A adalah A maka itulah yang disebut hukum identitas. Matematika murni dipandang sebagai hukum identitas karena dalam matematika murni tidaklah menghendaki adanya kontradiksi, tetapi menghendaki adanya suatu konsistensi.
Bahasa yang digunakan dalam berfilsafat sangatlah tinggi, bahasa yang digunakan adalah bahasa analog. Untuk mengatasi tingkatan bahasa yang terlalu tinggi itu, maka digunakanlah common sense dalam berfilsafat. Karena keterbatasan kita sebagai manusia biasa, sampai saat ini, sampai detik ini pun kita tak mampu mendefinisikan “ adalah “. Adalah adalah ………..
Roda kehidupan teruslah berputar, terkadang kita mencapai kebahagiaan, tetapi terkadang pula kita menemui kesedihan. Bahagia dalam tindakanku, bahagia dalam tulisanku, bahagia dalam pikiran ku, dan bahagia dalam doaku. Bahagia juga tergantung dengan ruang dan waktu. Secara ontologi kita akan menggapai apa hakikat bahagia. Secara epistimologi kita akan mencari tahu, bagaimana kita memperoleh bahagia. Dan secara aksiologi kita akan menjelaskan bagaimana kita mampu mengutarakan bahagia kepada orang lain.
Sebagai akhir, saya akan memohon maaf jikalau banyak terdapat kesalahan baik kata maupun pendapat. Sebenar-benarnya itulah hanya pendapat diri saya yang menurut saya benar, tetapi belum tentu menurut orang lain juga benar. Sekali lagi saya tekankan, kita bisa berpendapat, kita bebas berekspresi sebebas mungkin di filsafat, karena dalam filsafat tidak mengenal kata salah maupun benar, tidak ada pendapat yang salah ataupun pendapat yang benar, itu semua tergantung bagaimana diri kita mampu untuk menjelaskannya. Tak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik ALLOH SWT.
Sintetiskan hati & pikiranmu melalui doa dan berbuat ikhlas !!!!!
…..Terimakasih …..